Laskar Pelangi & Jembatan Pensil
- Michelle Devina
- Mar 16, 2020
- 5 min read
Di dalam film yang berjudul Laskar Pelangi, yang ceritanya diambil dari tahun 1974, penonton bisa melihat bahwa kondisi belajar-mengajar yang dialami siswa dan guru yang berlokasi di pedalaman tidak terlalu bagus dan memadai. Mereka tidak mendapatkan informasi yang sesuai dan terbaru untuk bisa menandingi negara lain, bahkan tidak sebanding dengan proses belajar-mengajar di kota-kota besar di Indonesia sendiri. Penonton bisa melihat bahwa kondisi untuk mendapatkan edukasi di lokasi film Laskar Pelangi tidak bagus dan seperti tidak terawat, bahkan murid-muridnya datang ke sekolah tidak menggunakan seragam, melainkan mereka datang dengan baju compang-camping dan tidak rapi. Meskipun murid-murid yang bersekolah di sekolah tersebut terlihat berbakat, bakat mereka tidak didukung oleh kondisi belajar tersebut. Guru-guru yang mengajar juga hanya terdapat sedikit. Hal-hal yang ditunjukkan dalam film ini memberi kesan dan menunjukan bahwa wajah pendidikan di Indonesia masih sangat memprihatinkan. Banyak sekali keterbatasan-keterbtasan yang menjadikan pendidikan tidak lagi menjadi solusi untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat Indonesia
Berbeda dengan film Laskar Pelangi, film Jembatan Pinsil mengambil latar tahun 2016. Tetapi, meskipun adanya perbedaan tahun yang sangat jauh, penonton bisa melihat banyak persamaan dalam gambaran pendidikan yang terdapat di film Jembatan Pinsil dengan film Laskar Pelangi. Film Jembatan Pinsil merepresentasikan ketidakmerataan pendidikan di Pulau Muna serta sulitnya akses jalan yang ditempuh menjadi hambatan masuknya pendidikan. Selain itu, belum adanya campur tangan pemerintah yang mengakibatkan pendidikan kurang terjangkau. Sama-sama mengambil latar di pedalaman, siswa-siswa yang belajar di sekolah masing-masing tidak dibekali fasilitas-fasilitas yang dapat mendukung proses belajar-mengajar. Misalnya, hanya terdapat 2 guru honorer yang bekerja di sekolah tersebut. Murid-murid pun untuk pergi ke sekolah harus jalan berkilo-kilo meter panjangnya dan melewati jalan-jalan yang sedikit berbahaya apalagi utuk anak seusia mereka.
Dalam kedua film yang diambil dari tahun yang berbeda, persamaan yang paling besar yang terdapat didalamnya adalah kesenjangan sosial antara masyarakat pedalaman dan masyarakat kota besar sehingga pendidikan yang terdapat di dalam film tidak bisa dijadikan ‘wajah’ pendidikan Indonesia dikarenakan perbedaan kondisi di setiap tempat. Yang dikhawatirkan dari hal ini adalah perbedaan atau kesenjangan sosial yang sangat amat besar tersebut akan sulit atau membutuhkan banyak waktu untuk bisa se-‘level’. Hal ini dikarenakan oleh keterbatasan sumber daya untuk bisa menaikkan kualitas dari masing-masing pribadi atau siswa yang bersekolah di pedalaman, dan hanya beberapa yang beruntung karena memiliki uang bisa pergi sekolah di kota besar.
Kebetulan saja, penulis beruntung dapat menempuh pendidikan di kota besar, terlebih lagi dapat belajar di sekolah berakreditasi tinggi yang memiliki fasilitas lengkap dengan guru-guru yang berstandar tinggi. Hal yang dialami oleh penulis di sekolah sangat berbanding terbalik dengan apa yang digambarkan di kedua film yang sudah dibahas sebelumnya. Penulis pun memiliki kemungkinan yang lebih tinggi untuk bisa menempuh pendidikan yang lebih tinggi dengan masuk universitas. Penulis juga sangat beruntung bahwa ia bisa berangkat ke sekolah dengan mudah dan hanya duduk santai di mobil dan diantar oleh supir, sedangkan murid-murid yang ada di film harus berjalan berkilo-kilo meter hanya untuk bisa pergi ke sekolah dan sampai harus melewati jembatan yang hampir runtuh dan sangat membahayakan hanya untuk bisa bersekolah. Tetapi, meskipun harus melalui semua kendala-kendala tersebut, mereka tetap bersemangat untuk belajar dan malah lebih giat daripada penulis yang seharusnya menggunakan semua ‘hak istimewa’ yang dimilikinya untuk mengembangkan diri sendiri.
Selain itu, penulis juga dibekali dengan pengetahuan yang banyak dari internet dan dapat diakses dengan mudah, sedangkan siswa-siswi di kedua film tersebut harus susah-susah mencari buku di perpustakaan yang juga terbatas dan tidak memiliki koleksi buku yang lengkap. Kegiatan-kegiatan ekstra-kulikuler yang disediakan oleh sekolah penulis pun dapat menjadi bekal untuk menambah keterampilan yang bisa digunakan di masa yang akan datang saat mencari pekerjaan. Siswa-siswi
yang terdapat dikedua film yang tidak dibekali ilmu dan keterampilan yang sebanding akan kesusahan dalam mencari pekerjaan saat mereka berpindah ke kota besar untuk bekerja.
Pemerintah seharusnya gencar dalam melakukan pemerataan dalam kesenjangan sosial kota-kota besar dengan kota-kota kecil dan pedalaman sehingga setiap orang dapat maju dan memiliki fasilitas yang sama untuk bisa berkontribusi dalam memajukan negara. Dengan kurangnya informasi, hal-hal seperti hoaks akan dengan mudah diterima oleh kaum-kaum yang tidak terlalu diperhatikan oleh pemerintah, yang nantinya hal ini akan menyulitkan pemerintah sendiri. Dengan memajukan suatu daerah terpencil, pendidikan di tempat tersebut juga ikut maju karena dengan infrastrukur yang dibangun, pemerintah dapat dengan mudah mengirim guru-guru honorer dan juga mengirim fasilitas-fasilitas seperti komputer, koneksi internet dan listrik yang memadai dengan memasang tiang-tiang listrik.
Terdapat banyak perbedaan dan perkembangan dalam situasi dan kondisi pendidikan dalam ilustrasi dari kedua film. Contohnya, sekarang murid-murid memiliki akses kepada internet untuk bisa mendapatkan informasi lebih yang tidak atau belum diajarkan di sekolah oleh guru. Tetapi, meskipun demikian, tanpa harus mencari tahu di internet untuk informasi pun, guru-guru yang terdapat sekarang jauh lebih baik dalam mengajar dan memiliki pengetahuan yang luas untuk dibagikan kepada murid-murid. Kebanyakan sekolah-sekolah di daerah yang lebih maju pun memiliki fasilitas perpustakaan yang lengkap dengan segala isi-isinya, dari ensiklopedia sampai buku fiksi romansa pun ada. Kebanyakan ruang-ruang perpustakaan sekarang juga banyak yang sangat nyaman dan bersih, sehingga murid-murid pun akan merasa nyaman jika harus belajar di perpustakaan berjam-jam.
Segala alat-alat tulis pun banyak yang lucu-lucu dan lebih nyaman untuk dipakai. Murid-murid tidak lagi harus menggunakan rautan untuk menajamkan pensil batang kayu karena sekarang mereka bisa menggunakan pensil pilot atau pensil otomatis yang isiannya bisa langsung diganti ketika habis, dan dalam jangka panjang hal ini bisa membuat hemat pengguna dengan tidak perlu membeli pensil baru lagi.
Belajar pun dimudahkan dengan adanya bimbingan belajar berbasis online, misalnya Ruang Guru. Murid-murid bisa membayar uang lebih sedikit daripada membayar guru tutor atau les, untuk menggunakan semua fasilitas dan bahan-bahan belajar yang terbaru dan terbaik untuk persiapan ulangan misalnya Ujian Nasional. Dengan ini, nilai para murid bisa lebih baik dikarenakan bahan belajar yang tersedia bisa dipastikan kebenarannya (bukan hoaks atau bohongan). Tetapi, hal ini pun semua hanya terdapat di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya dan kota-kota lainnya. Untuk kota-kota atau daerah kecil yang tidak terlalu diurus oleh pemerintah, mereka belum bisa menikmati hal yang sama dengan siswa di kota besar. Hal ini akan menyebabkan kesenjangan sosial yang lumayan besar perbedaannya, dan untuk kedepannya akan susah untuk pemerintah bisa mengimbangi dan meratakan semua daerah.
Sistem yang digunakan sekolah-sekolah pun sekarang lebih efisien dan tidak menyusahkan orang tua atau wali murid. Sekarang, kebanyakan pembayaran dilakukan secara transfer atau kredit, bukan cash. Banyak permasalahan zaman dahulu dan sekarang pun masih ada di beberapa sekolah, yaitu uang cash yang orang tua atau wali berikan kepada murid tidak dipakai untuk membayar SPP, tetapi malah digunakan untuk jajan. Murid-murid yang melakukan hal tersebut berbohong pada orang tua mereka bahwa mereka telah bayar SPP, tetapi pada akhirnya muncul surat dari sekolah tentang denda telat bayar SPP. Ini sangat menyusahkan, bukan hanya dapat merusak hubungan orang tua dengan anak dan orang tua dengan sekolah, teatpi juga bagi orang tua yang memang seharusnya tidak terlalu mampu, atau memiliki uang pas-pasan untuk membayar uang sekolah. Sangat kasihan sekali jika mereka sudah membayar uang sekolah dengan tepat waktu, tetapi anak-anak mereka bandel dan berbohong sehingga mereka harus membayar 2 kali lipat dan juga harus membayar denda.
Comentarios